Pada bulan Rajab ini, 91 tahun yang lalu tepatnya Rajab 1343 H (1924 M), Mustafa Kamal—seorang Yahudi asli, anggota Free Masonry dan antek Inggris—telah menghancurkan Khilafah di Turki. Inilah salah satu goncangan paling dahsyat dalam sejarah umat Islam, yaitu hancurnya pemerintahan Islam yang berusia lebih dari 13 abad. Pemerintahan Islam ini dirintis dan dicontohkan oleh suri teladan kita tercinta, Nabi Muhammad saw. sejak lebih dari 14 abad lalu.
Seharusnya saat Khilafah hendak
diruntuhkan, umat Islam wajib mengangkat senjata untuk memerangi Mustafa
Kamal. Pasalnya, penghapusan Khilafah adalah kekufuran yang nyata (kufran bawah[an]) yang telah membolehkan bahkan mewajibkan umat Islam mengangkat senjata untuk melawan penguasa.
Namun sayang, umat Islam ketika itu
dalam kondisi lemah dan tak berdaya. Akhirnya, umat Islam pun terpaksa
memasuki fase paling gelap dalam sejarahnya yang panjang. Hancurnya
Khilafah berarti hilangnya institusi yang menerapkan syariah Islam dalam
segala aspek kehidupan. Hancurnya Khilafah berarti runtuhnya benteng
pelindung umat Islam dari kaum kafir penjajah. Hancurnya Khilafah
berarti lenyapnya pemersatu umat Islam di seluruh dunia.
Kondisi buruk ini akhirnya melahirkan
kehidupan yang serba sulit dalam segala aspeknya. Mahabenar Allah SWT
Yang telah berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari
peringatan-Ku (Al-Quran), sesungguhnya bagi dia penghi-dupan yang sempit
dan Kami akan menghim-punkan dia pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).
Meskipun ujian ini terasa demikian pahit dan menyakitkan, alhamdulilLah wa syukru lilLah, di tengah-tengah umat Islam masih saja ada segolongan umat (tha’ifah)
yang setia pada Islam, setia kepada Allah dan Rasul-Nya, serta terus
berjuang untuk mengembalikan Khilafah agar umat Islam terbebas dari
cengkeraman sistem demokrasi-sekular yang kufur dan kembali pada sistem
kehidupan yang islami dalam Negara Khilafah.
Hizbut Tahrir dengan pemimpinnya saat
ini, yaitu Syaikh al-‘Alim ‘Atha` Abu Rasytah, seorang ulama mujtahid
dan mufassir, terus berusaha menyadarkan umat Islam akan kewajiban
Khilafah. Kewajiban ini sesungguh-nya sudah jelas dalam ajaran Islam (ma’lum[un] min ad-dini bi adh-dharurah),
namun terus disembunyikan, dimanipulasi dan diperangi oleh kaum kafir
penjajah dan penguasa umat Islam yang menjadi antek-antek kafir
penjajah.
Kewajiban menegakan Khilafah atau Imamah
itu sesungguhnya telah disepakati oleh Imam mazhab yang empat, yaitu
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad ra; bahkan oleh ulama di luar kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Para ulama pun sudah menjelaskan dalil-dalil kewajiban Khilafah ini, baik dalil dari al-Quran, al-Hadis, Ijmak Sahabat maupun qaidah syar’iyyah.
Dalil al-Quran antara lain adalah
ayat-ayat yang mewajibkan penguasa untuk berhukum dengan apa saja yang
telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48, 49); juga ayat-ayat hukum
yang pelaksanaannya dibebankan kepada Khalifah sebagai kepala negara
Khilafah, seperti qishash bagi pembunuh (QS al-Baqarah [2]:
178), hukum potong tangan bagi pencuri (QS al-Maidah [5]: 38), hukum
cambuk bagi pezina bukan muhshan (QS an-Nur [24]: 2), dan sebagainya.
Jadi, seluruh ayat yang mewajibkan
penguasa berhukum dengan hukum Islam, juga seluruh ayat yang
pelaksanaannya dibebankan kepada Khalifah, adalah dalil atas kewajiban
menegakkan Khilafah. Sebab, tak mungkin ayat-ayat itu terlaksana secara
sempurna, kecuali dengan adanya Negara Khilafah. Kaidah syar’iyyah menegaskan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama sebuah kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib hukumnya.
Dalil hadis antara lain sabda Rasululullah saw.:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيِّتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang mati dan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah/Imam), matinya adalah mati jahiliyah (HR Muslim).
Dalil Ijmak Sahabat (kesepakatan
para sahabat Nabi saw.), adalah adanya kesepakatan para sahabat untuk
mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. sebagai khalifah setelah wafatnya
Rasulullah saw., yang lebih mereka prioritaskan daripada menguburkan
jenazah Rasulullah saw.
Adapun menurut qaidah syar’iyyah dinyatakan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama sebuah kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib hukumnya.
Artinya, jika kewajiban menerapkan
syariah Islam dalam segala aspek kehidupan tidak terlaksana sempurna
kecuali dengan tegaknya Negara Khilafah, berarti Khilafah itu wajib juga
hukumnya secara syar’i.
Kewajiban menegakkan Khilafah ini
asalnya adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Namun, karena fardhu
kifayah ini kenyataannya belum terwujud, yakni berupa tegaknya Khilafah,
maka hukum menegakkan Khilafah saat ini, telah menjadi fardhu ‘ain,
yakni menjadi kewajiban setiap Muslim sesuai kemampuan masing-masing.
Maka dari itu, Hizbut Tahrir menyeru
kaum Muslim untuk turut berjuang bersama-sama menegakkan kewajiban yang
suci dan agung ini, yaitu menegakkan Khilafah.
Marilah kita meluruskan niat kita,
meneguhkan tekad kita dan mengokohkan semangat kita dalam perjuangan
yang penuh berkah ini! Insya Allah selama kita tetap teguh berjuang
menolong agama Allah, tak ada satu kekuatan pun yang akan sanggup
menghancurkan perjuangan kita! Kita tidak usah takut dan gentar
menghadapi segala godaan, tantangan, dan ancaman dari musuh-musuh Islam
yang berusaha menghancurkan perjuangan suci ini. Allah bersama kita!
Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Sesungguhnya mereka itu tidak lain
hanyalah setan yang menakut-nakuti (kalian) dengan kawan-kawannya.
Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada
Aku jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman (QS Ali ‘Imran [3]: 175).
sumber: www.hizbut-tahrir.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar